Kuatnya Sentimen Agama di Pilgub Jakarta
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
SENIN, 13 FEBRUARI 2017
Kuatnya Sentimen Agama di Pilgub Jakarta
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
14 Februari, 2017dibaca normal 4:30 menit
Meski Jakarta disebut-sebut sebagai daerah yang pemilihnya rasional, nyatanya semua pasangan calon pilgub DKI melakukan kunjungan dan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama.
tirto.id - Menurut data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta, jumlah penduduk muslim di ibukota mencapai 8.339.988 atau sebesar 83 persen dari total populasi. Jauh di atas populasi warga beragama Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Konghucu, dan lainnya.
Sementara itu, profil demografi pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 yang dirilis oleh Indikator menunjukkan ada85 persen umat Islam, sedangkan pemilih Protestan dan Katolik sebesar 10,7 persen, dan penganut agama lain 3,9 persen.
Meski Jakarta kerap dilihat sebagai daerah dengan pemilih rasional, kasus Al Maidah menjadi bukti pengaruh kisruh terkait agama terhadap keterpilihan petahana Ahok-Djarot—yang menurun drastis setelah Ahok menjadi tersangka, meski akhirnya naik kembali.
Ambillah contoh kunjungan Anies Baswedan, paslon nomor urut tiga, ke markas Front Pembela Islam di Petamburan, Jakarta Pusat, di hari pertama tahun 2017. Padahal, pada pilpres 2014 lalu, Anies mengkritik kedekatan Prabowo yang FPI yang disebutnya sebagai ekstremis.
"Tapi, dia [Prabowo] justru mengakomodasi dan merangkul kelompok ekstremis seperti FPI," kata Anies seperti dikutip Kompas, saat itu.
Namun bagi Halili Hasan, dosen sekaligus pengamat politik dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Setara Institute, manuver Anies adalah hal yang wajar. Demikian juga saat kubu Agus Harimurti Yudhoyono, paslon nomor 1, mengkonsolidasi kekuasaan Cikeas ke kubu Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Kita tahu penguatan MUI di masa SBY. Kita tahu ruang yang disediakan rezim SBY [Mendagri Gamawan Fauzi] untuk FPI,” kata Halili.
Ini semua, menurutnya, adalah bagian dari gerakan politik identitas berbasis agama untuk meraih suara elektoral. Mengapa agama?
“Jika dibaca lewat teori tindakan kolektif, salah satu kesulitan untuk menggerakkan orang pada satu tindakan yang sama itu karena heterogenitas kepentingan, nilai, dan kontribusi. Agama adalah instrumen yang bisa mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut. Anies sadar betul akan hal itu,” kata Halili kepada wartawan Tirto.
Saat ini, menurutnya, pendulum penggunaan sentimen agama di ruang publik ada di kubu Islam konservatif. Maka, ia tak kaget dengan kunjungan yang diterima langsung oleh sang Imam Besar FPI, Habib Rizieq, itu.
Jika ditelusuri lebih jeli, Agus melangkah lebih dini ketimbang Anies dalam upaya meraih suara kelompok muslim. Agus, sejak Oktober, sudah melakukan kunjungan-kunjungan ke ormas-ormas Islam terbesar: NU dan Muhammadiyah.
Demi meraih simpati kaum muslim, Agus, Anies, plus pasangannya Sylviana dan Sandiaga Uno, menghadiri Aksi 112 dengan agenda salat Subuh berjamaah dan doa bersama di Masjid Istiqlal, Jakarta, Sabtu (11/2/2017). Meski di malam sebelumnya mereka saling serang hingga ke wilayah personal saat mengikuti debat di Hotel Bidakara, Anies, Agus, dan Uno bisa bergandengan tangan erat saat doa dan zikir dilantunkan.
Halili menganggap fenomena ini unik. Anies dan Agus terlihat saling berkolaborasi untuk menjegal langkah Ahok, tapi sebenarnya mereka juga bersaing keras agar lolos ke putaran kedua. Ia memprediksi pemilihan berlangsung dua putaran, pendukung Anies belum tentu sepenuhnya ke Agus. Namun, jika yang lolos Anies, “Saya bisa katakan 90 persen pendukung konservatif akan ke Anies sepenuhnya,” katanya.
Dari NU hingga Muhammadiyah
Bagaimana dengan suara kaum muslim moderat yang terwakilkan pada dua ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah? Meski kedua ormas itu telah menyatakan sikap netral, tapi kaum Nahdiyin maupun warga Muhammadiyah tetaplah elektorat yang bisa dibidik oleh para paslon untuk meningkatkan elektabilitasnya.
Selain berkunjung ke tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah pusat, Agus dan Sylviana Murni juga melanjutkan kunjungan ke kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, di Utan Kayu, Jakarta Timur, 20 Oktober lalu, dalam acara bertajuk "Silaturahmi Pengurus PWNU DKI Jakarta dengan Agus Harimurti Yudhoyono." Hadir dalam acara itu anggota Rais Suriah PWNU DKI Jakarta Munahar Muchtar, Sekretaris PWNU DKI Mualif, juga Ketua Cabang Nahdlatul Ulama se-DKI Jakarta dan Kepulauan Seribu.
Pasangan Agus-Sylvi juga mengunjungi Pesantren Asshiddiqiyah, Kedoya, Jakarta Barat, pada 10 Oktober 2016. Dalam kesempatan itu, mereka disambut pendiri sekaligus pengasuh Asshiddiqiyah yang juga diketahui sebagai kiai Nahdlatul Ulama: Noer Muhammad Iskandar.
Mereka juga berkunjung ke kantor Sekretariat Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Muhammadiyah DKI Jakarta di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat (16/1/2017).
Pasangan Anies-Sandi juga sama. Mereka kerap mengunjungi ulama. Selama masa kampanye, Anies kerap menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan beragam majelis. Pada 17 Januari lalu misalnya, Anies menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Ustad Fikri Haikal, anak almarhum KH Zainuddin MZ, di Gang Haji Anom, Jalan Gandaria I, Kramat Pela, Jakarta Selatan.
Anies juga sempat menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid At-Taqwa, Pondok Labu, Jakarta Selatan pada 13 Januari, tujuh jam sebelum debat kandidat pertama Pilkada DKI Jakarta 2017. Acara tersebut dihadiri oleh sejumlah habib, di antaranya Habib Soleh dan Habib Ali bin Abdul Qadir al-Habsi.
Pada Senin (07/02/2017) giliran Anies-Sandi berkunjung ke kantor Sekretariat Dewan Pengurus Wilatah (DPW) Muhammadiyah DKI Jakarta. Mereka disambut oleh Ketua PWM DKI Sun'an Miskan dan pertemuan tersebut berlangsung tertutup. Menurut Sun'an, kedatangan Anies dimaksudkan untuk bertukar pikiran perihal tantangan dalam membangun masa depan Jakarta.
Ahok dan wakilnya Djarot Saiful Hidayat, meski tergolong jarang mengunjungi ulama, juga tak bisa dibilang mengabaikan elektorat kaum muslim. Ahok mengunjungi Gus Nuril di Pesantren Abdurrahman Wahid Soko Tunggal, Rawamangun, Jakarta Timur pada 9 Januari lalu.
Gus Nuril menyatakan kunjungan Ahok telah menghapus stigma bahwa calon gubernur DKI Jakarta tersebut tidak menghormati ulama. "Saya terima kasih, kehadiran sampeyan ini menghapus stigma Ahok tidak menghormati ulama," katanya.
Ahok juga mendapat dukungan dari kalangan NU yang tergabung dalam Relawan Nusantara (RelaNU) bentukan Nusron Wahid, mantan ketua PP GP Ansor periode 2010-2015. Ia juga menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh RelaNu (15/01/2017), di markas RelaNU, Patra Jasa, Jakarta Selatan.
Mengapa politisasi sentimen agama di Jakarta menjadi penting? Dalam survei itu, dikatakan kesamaan agama menjadi indikator penting bagi para pemilih untuk menjatuhkan pilihannya. Sebanyak 71,4 persen dari total responden menyatakan bahwa memilih calon pemimpin yang memiliki kesamaan agama dengan dirinya adalah penting. Angka ini melonjak dari bulan Maret dan Oktober tahun 2016 yang hanya sebesar 40 dan 55 persen.
Ahok dirugikan dengan kondisi ini, dan elektabilitasnya menurun sejak kasus penistaan agama menimpanya. Hal ini bahkan terbaca sejak akhir November tahun lalu dimana Juru Bicara Tim Pemenangan Basuki-Djarot, Ansy Lema, mengatakan, elektabilitas Ahok menurun bukan karena kinerja, tapi isu agama.
Riset Indikator beberapa hari lalu menunjukkan bulan ini dukungan terhadap Anies-Sandi mengalami peningkatan signifikan dari 23,8 persen menjadi sekitar 35,4 persen dibandingkan temuan Januari lalu, sementara Ahok-Djarot hanya mengalami sedikit kenaikan.
Sama dengan LSI Denny JA, survei Indikator juga menggarisbawahi kuatnya sentimen agama. Bedanya, menurut survei Indikator, bukan Agus-Sylvi yang lebih diuntungkan oleh sentimen itu, melainkan Anies Sandi.
Sebanyak 16 persen pemilih Anies-Sandi mendasarkan pilihannya dengan faktor kesamaan agama sebagai alasan utama. Pada Agus-Sylvi, ada 8 persen pemilih yang mendasarkan pilihannya dari kesamaan agama. Sedangkan pada Ahok, tidak tercantum berapa persen soal agama mempengaruhi preferensi.
Rilis Lembaga Survei Indonesia pada bulan Desember 2016 pun mengungkap insiden Al-Maidah berpengaruh pada tingkat kesukaan maupun keterpilihan calon petahana dan menyekunderkan pertimbangan kinerja sebagai pertimbangan penting dalam memilih pilihan politik. Pasca-insiden Al-Maidah, sebagian pemilih tetap melihat insiden ini sebagai faktor penting dalam membuat keputusan untuk memberikan atau menarik dukungan politik.
Ketiga riset itu sama-sama menunjukkan isu dan politisasi sentimen agama (Islam) mempengaruhi, tepatnya menurunkan, elektabilitas Ahok-Djarot. Paslon ini harus menumpukan harapan melalui debat, dan lagi-lagi, hasil kerja.
Apakah ini berarti Ahok mesti berputus asa pada massa pendukung muslimnya? Halili berkata tak usah. Di samping hasil survei beberapa lembaga kini memenangkan paslon ini—meski jaraknya relatif tipis dengan paslon lain terutama Anies-Sandi—Halili memandang bahwa di Jakarta ada banyak warga muslim yang preferensi politiknya tidak tergantung sentimen politik identitas atau keagamaan.
“Anak-anak muda NU dan Muhammadiyah dari kelas menengah tidak semuanya anti-Ahok. Tak bisa digeneralisasi per lembaga. Terutama di Jakarta, petanya sangat cair,” katanya.
Sementara itu, profil demografi pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 yang dirilis oleh Indikator menunjukkan ada85 persen umat Islam, sedangkan pemilih Protestan dan Katolik sebesar 10,7 persen, dan penganut agama lain 3,9 persen.
Meski Jakarta kerap dilihat sebagai daerah dengan pemilih rasional, kasus Al Maidah menjadi bukti pengaruh kisruh terkait agama terhadap keterpilihan petahana Ahok-Djarot—yang menurun drastis setelah Ahok menjadi tersangka, meski akhirnya naik kembali.
Ambillah contoh kunjungan Anies Baswedan, paslon nomor urut tiga, ke markas Front Pembela Islam di Petamburan, Jakarta Pusat, di hari pertama tahun 2017. Padahal, pada pilpres 2014 lalu, Anies mengkritik kedekatan Prabowo yang FPI yang disebutnya sebagai ekstremis.
"Tapi, dia [Prabowo] justru mengakomodasi dan merangkul kelompok ekstremis seperti FPI," kata Anies seperti dikutip Kompas, saat itu.
Namun bagi Halili Hasan, dosen sekaligus pengamat politik dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Setara Institute, manuver Anies adalah hal yang wajar. Demikian juga saat kubu Agus Harimurti Yudhoyono, paslon nomor 1, mengkonsolidasi kekuasaan Cikeas ke kubu Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Kita tahu penguatan MUI di masa SBY. Kita tahu ruang yang disediakan rezim SBY [Mendagri Gamawan Fauzi] untuk FPI,” kata Halili.
Ini semua, menurutnya, adalah bagian dari gerakan politik identitas berbasis agama untuk meraih suara elektoral. Mengapa agama?
“Jika dibaca lewat teori tindakan kolektif, salah satu kesulitan untuk menggerakkan orang pada satu tindakan yang sama itu karena heterogenitas kepentingan, nilai, dan kontribusi. Agama adalah instrumen yang bisa mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut. Anies sadar betul akan hal itu,” kata Halili kepada wartawan Tirto.
Saat ini, menurutnya, pendulum penggunaan sentimen agama di ruang publik ada di kubu Islam konservatif. Maka, ia tak kaget dengan kunjungan yang diterima langsung oleh sang Imam Besar FPI, Habib Rizieq, itu.
Jika ditelusuri lebih jeli, Agus melangkah lebih dini ketimbang Anies dalam upaya meraih suara kelompok muslim. Agus, sejak Oktober, sudah melakukan kunjungan-kunjungan ke ormas-ormas Islam terbesar: NU dan Muhammadiyah.
Demi meraih simpati kaum muslim, Agus, Anies, plus pasangannya Sylviana dan Sandiaga Uno, menghadiri Aksi 112 dengan agenda salat Subuh berjamaah dan doa bersama di Masjid Istiqlal, Jakarta, Sabtu (11/2/2017). Meski di malam sebelumnya mereka saling serang hingga ke wilayah personal saat mengikuti debat di Hotel Bidakara, Anies, Agus, dan Uno bisa bergandengan tangan erat saat doa dan zikir dilantunkan.
Halili menganggap fenomena ini unik. Anies dan Agus terlihat saling berkolaborasi untuk menjegal langkah Ahok, tapi sebenarnya mereka juga bersaing keras agar lolos ke putaran kedua. Ia memprediksi pemilihan berlangsung dua putaran, pendukung Anies belum tentu sepenuhnya ke Agus. Namun, jika yang lolos Anies, “Saya bisa katakan 90 persen pendukung konservatif akan ke Anies sepenuhnya,” katanya.
Dari NU hingga Muhammadiyah
Bagaimana dengan suara kaum muslim moderat yang terwakilkan pada dua ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah? Meski kedua ormas itu telah menyatakan sikap netral, tapi kaum Nahdiyin maupun warga Muhammadiyah tetaplah elektorat yang bisa dibidik oleh para paslon untuk meningkatkan elektabilitasnya.
Selain berkunjung ke tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah pusat, Agus dan Sylviana Murni juga melanjutkan kunjungan ke kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, di Utan Kayu, Jakarta Timur, 20 Oktober lalu, dalam acara bertajuk "Silaturahmi Pengurus PWNU DKI Jakarta dengan Agus Harimurti Yudhoyono." Hadir dalam acara itu anggota Rais Suriah PWNU DKI Jakarta Munahar Muchtar, Sekretaris PWNU DKI Mualif, juga Ketua Cabang Nahdlatul Ulama se-DKI Jakarta dan Kepulauan Seribu.
Pasangan Agus-Sylvi juga mengunjungi Pesantren Asshiddiqiyah, Kedoya, Jakarta Barat, pada 10 Oktober 2016. Dalam kesempatan itu, mereka disambut pendiri sekaligus pengasuh Asshiddiqiyah yang juga diketahui sebagai kiai Nahdlatul Ulama: Noer Muhammad Iskandar.
Mereka juga berkunjung ke kantor Sekretariat Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Muhammadiyah DKI Jakarta di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat (16/1/2017).
Pasangan Anies-Sandi juga sama. Mereka kerap mengunjungi ulama. Selama masa kampanye, Anies kerap menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan beragam majelis. Pada 17 Januari lalu misalnya, Anies menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Ustad Fikri Haikal, anak almarhum KH Zainuddin MZ, di Gang Haji Anom, Jalan Gandaria I, Kramat Pela, Jakarta Selatan.
Anies juga sempat menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid At-Taqwa, Pondok Labu, Jakarta Selatan pada 13 Januari, tujuh jam sebelum debat kandidat pertama Pilkada DKI Jakarta 2017. Acara tersebut dihadiri oleh sejumlah habib, di antaranya Habib Soleh dan Habib Ali bin Abdul Qadir al-Habsi.
Pada Senin (07/02/2017) giliran Anies-Sandi berkunjung ke kantor Sekretariat Dewan Pengurus Wilatah (DPW) Muhammadiyah DKI Jakarta. Mereka disambut oleh Ketua PWM DKI Sun'an Miskan dan pertemuan tersebut berlangsung tertutup. Menurut Sun'an, kedatangan Anies dimaksudkan untuk bertukar pikiran perihal tantangan dalam membangun masa depan Jakarta.
Ahok dan wakilnya Djarot Saiful Hidayat, meski tergolong jarang mengunjungi ulama, juga tak bisa dibilang mengabaikan elektorat kaum muslim. Ahok mengunjungi Gus Nuril di Pesantren Abdurrahman Wahid Soko Tunggal, Rawamangun, Jakarta Timur pada 9 Januari lalu.
Gus Nuril menyatakan kunjungan Ahok telah menghapus stigma bahwa calon gubernur DKI Jakarta tersebut tidak menghormati ulama. "Saya terima kasih, kehadiran sampeyan ini menghapus stigma Ahok tidak menghormati ulama," katanya.
Ahok juga mendapat dukungan dari kalangan NU yang tergabung dalam Relawan Nusantara (RelaNU) bentukan Nusron Wahid, mantan ketua PP GP Ansor periode 2010-2015. Ia juga menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh RelaNu (15/01/2017), di markas RelaNU, Patra Jasa, Jakarta Selatan.
NASIB AHOK
Pada 24 Januari lalu, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dipimpin Denny J.A. mengeluarkan hasil survei terkait kekuatan suara para pemilih muslim di Jakarta. Menurut survei ini, Ahok mengantongi suara paling sedikit dari para pemilih muslim. Sebanyak 30,50 persen pemilih Muslim di Jakarta percaya bahwa Agus mampu menjaga keberagaman di DKI Jakarta. Angka ini mengalahkan Anies yang mengantongi 24,50 persen dan Ahok yang hanya 15,20 persen.Mengapa politisasi sentimen agama di Jakarta menjadi penting? Dalam survei itu, dikatakan kesamaan agama menjadi indikator penting bagi para pemilih untuk menjatuhkan pilihannya. Sebanyak 71,4 persen dari total responden menyatakan bahwa memilih calon pemimpin yang memiliki kesamaan agama dengan dirinya adalah penting. Angka ini melonjak dari bulan Maret dan Oktober tahun 2016 yang hanya sebesar 40 dan 55 persen.
Ahok dirugikan dengan kondisi ini, dan elektabilitasnya menurun sejak kasus penistaan agama menimpanya. Hal ini bahkan terbaca sejak akhir November tahun lalu dimana Juru Bicara Tim Pemenangan Basuki-Djarot, Ansy Lema, mengatakan, elektabilitas Ahok menurun bukan karena kinerja, tapi isu agama.
Riset Indikator beberapa hari lalu menunjukkan bulan ini dukungan terhadap Anies-Sandi mengalami peningkatan signifikan dari 23,8 persen menjadi sekitar 35,4 persen dibandingkan temuan Januari lalu, sementara Ahok-Djarot hanya mengalami sedikit kenaikan.
Sama dengan LSI Denny JA, survei Indikator juga menggarisbawahi kuatnya sentimen agama. Bedanya, menurut survei Indikator, bukan Agus-Sylvi yang lebih diuntungkan oleh sentimen itu, melainkan Anies Sandi.
Sebanyak 16 persen pemilih Anies-Sandi mendasarkan pilihannya dengan faktor kesamaan agama sebagai alasan utama. Pada Agus-Sylvi, ada 8 persen pemilih yang mendasarkan pilihannya dari kesamaan agama. Sedangkan pada Ahok, tidak tercantum berapa persen soal agama mempengaruhi preferensi.
Rilis Lembaga Survei Indonesia pada bulan Desember 2016 pun mengungkap insiden Al-Maidah berpengaruh pada tingkat kesukaan maupun keterpilihan calon petahana dan menyekunderkan pertimbangan kinerja sebagai pertimbangan penting dalam memilih pilihan politik. Pasca-insiden Al-Maidah, sebagian pemilih tetap melihat insiden ini sebagai faktor penting dalam membuat keputusan untuk memberikan atau menarik dukungan politik.
Ketiga riset itu sama-sama menunjukkan isu dan politisasi sentimen agama (Islam) mempengaruhi, tepatnya menurunkan, elektabilitas Ahok-Djarot. Paslon ini harus menumpukan harapan melalui debat, dan lagi-lagi, hasil kerja.
Apakah ini berarti Ahok mesti berputus asa pada massa pendukung muslimnya? Halili berkata tak usah. Di samping hasil survei beberapa lembaga kini memenangkan paslon ini—meski jaraknya relatif tipis dengan paslon lain terutama Anies-Sandi—Halili memandang bahwa di Jakarta ada banyak warga muslim yang preferensi politiknya tidak tergantung sentimen politik identitas atau keagamaan.
“Anak-anak muda NU dan Muhammadiyah dari kelas menengah tidak semuanya anti-Ahok. Tak bisa digeneralisasi per lembaga. Terutama di Jakarta, petanya sangat cair,” katanya.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar